Senin, 28 Mei 2012

Al-Quran Bicara Sains

Islam dan sains sejalan Penciptaan alam semesta telah dijelaskan dalam Alquran pada 14 abad silam.
“Dan,apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah satu padu, kemudian Kami pisahkan antar keduanya. Dan, dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka, mengapakah mereka tiada juga beriman?“ (QS al-Anbiyaa':30).

Pada hampir 14 abad lalu, ayat di atas menjadi satu di antara firman Allah yang turun kepada Rasulullah SAW dengan muatan sains.

Ayat tersebut menjelaskan asal-muasal langit dan bumi yang mulanya satu dan kemudian dipisahkan.
Teori big bang atau ledakan besar yang dikemukakan pada abad ke-20 menjadi bukti sekaligus penegas kebenaran ayat Alquran di atas.

Penjelasan mengenai penciptaan alam semesta itu telah dijelaskan dalam Alquran pada 14 abad silam ketika belum ada teknologi yang menunjang penelitian astronomi dan bahkan sang penerima wahyu, Rasulullah SAW, adalah sosok yang tak mengenal baca-tulis, apalagi astronomi.


Teori ledakan besar menjelaskan, semesta bermula dari sebuah benda seukuran bola tenis pada masa nol detik atau sebelum semuanya ada.

Materi tersebut sangat padat dengan kepadatan tak terkira dan suhu yang luar biasa panas. Ia pun meledak dan pada detik pertama menghasilkan partikel dan energi eksotis.

Lalu, tiga menit pertama tercipta hidrogen (unsur pembentuk air) dan helium. Proses tersebut berlangsung sampai dengan enam tahap hingga tercipta alam semesta seperti sekarang.

Teori abad ke-20 tersebut sekaligus menjelaskan apa yang telah dipaparkan Alquran dalam surah Yunus ayat 3, “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy untuk mengatur segala urusan...“

Sebagai benda langit yang tidak muncul secara tiba-tiba, bintang seperti matahari tidak bertahan selamanya. Setelah lahir dan berevolusi, ia akan mati. Laman hubblesite.org (versi online dari “Hubble Space Telescope: New Views of The Universe“) menjelaskan, setelah bintang kehabisan semua bahan nuklirnya, ia akan mati. Fenomena cat's eye nebula yang berhasil didokumentasikan menggunakan kamera teleskop Hubble menunjukkan detik-detik kematian sebuah bintang yang dikenal sebagai planet Nebula.

Planet Nebula bukanlah planet seperti namanya. Ia adalah sebuah bintang sebagaimana matahari yang berada sekitar 3.000 tahun cahaya dari bumi dan diperkirakan telah berumur 1.000 tahun lebih. Ia dinamai “planet“ sekitar seabad lalu karena terlihat seperti planet melalui teleskop kecil kala itu. Ledakan bintang yang berada di bagian utara konstelasi Draco ini menghasilkan ledakan menyerupai mawar berwarna merah.

Fenomena tersebut sekali lagi menjelaskan satu firman Allah yang lain. “Maka, apabila langit terbelah dan menjadi merah mawar seperti (kilauan) minyak...“ (QS ar-Rahman:37). Karena itu, cat's eye nebula disebut pula oily red rose nebula yang berarti “nebula mawar merah yang berminyak“.

Miliki fungsi keagamaan Astronomi adalah ilmu yang tidak terpisahkan dari Islam. Pertama, ia adalah cara paling akurat untuk menentukan waktu shalat.

Kedua, untuk menentukan garis lintang dan bujur, yang dengannya dapat diketahui posisi Ka'bah.
Di luar fungsi keagamaan, astronomi berfungsi pula sebagai alat navigasi. Sebuah alat navigasi bernama astrolabe adalah contoh teknologi klasik yang digunakan dalam menghitung posisi bintang tertentu untuk menentukan arah. Alat yang diciptakan orang Yunani itu kemudian disempurnakan oleh orang Arab.

Ia dikembangkan menjadi versi yang canggih dan menjadi landasan navigasi untuk eksplorasi Eropa.
Salah satu astronom Islam terbesar adalah Abu Ja'far Muhammad bin Musa Al-Khwarizmi (al-Khwarizmi) yang hidup pada abad ke-9 dan merupakan penemu aljabar. Ia mengembangkan perangkat matematika sepenuhnya dalam bentuk kata-kata. Bukan ekspresi matematika, melainkan berdasarkan sistem pada angka India yang dipinjam oleh orang Arab (apa yang sekarang disebut sebagai angka Arab).

Karya al-Khwarizmi telah diterjemahkan ke dalam ratusan bahasa . Latin ratusan tahun kemudian dan menjadi pengantar Eropa pada sistem angka India, lengkap dengan konsep nolnya. Al-Khawarizmi membuat perhitungan yang terperinci tentang posisi matahari, bulan, dan planet-planet, serta melakukan sejumlah perhitungan gerhana. Ia lalu menyusun sebuah tabel garis lintang dan bujur 2.402 kota dan penanda lokasi penting. Temuannya itu menjadi dasar pembuatan peta dunia.

Astronom Islam lainnya yang membawa pengaruh bagi sains Barat adalah Abu'l-Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Kathir al-Farghani (al-Farghani). Sekitar abad ke-9, alFarghani menulis secara luas tentang gerakan benda langit. Pada abad ke12, karya-karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Disebutkan pula bahwa Dante memperoleh pengetahuan astronominya dari buku al-Farghani tersebut.

Pada abad ke-10-an, sebuah ob servatorium besar dibangun di dekat Teheran, Iran, oleh astronom alKhujandi. Dia membangun sebuah sekstan (alat untuk mengukur sudut astronomis yang meliputi seperenam lingkaran (60 derajat) untuk menentukan posisi kapal di laut) besar di dalam observatorium dan merupakan astronom pertama yang mampu mengukur dengan akurasi detik busur.

Ia mengamati serangkaian transit meridian Matahari yang memungkinkan dia untuk menghitung arah miring dari ecliptic, yang juga dikenal sebagai kemiringan sumbu bumi relatif terhadap matahari.

Seperti kita ketahui hari ini, kemiringan bumi adalah sekitar 23o34' dan al-Khujandi mengukurnya sebagai 23o32'19“. Menggunakan informasi tersebut, ia juga menyusun sebuah daftar garis lintang dan bujur kota-kota besar.

Ghiyath al-Din Abu'l-Fath Umar ibn Ibrahim al-Nisaburi alKhayyami (Umar Khayyam) adalah seorang ilmuwan besar Persia, filsuf, dan penyair yang hidup antara 1048-1131 M. Ia menyusun banyak tabel astronomis dan melakukan reformasi kalender yang lebih tepat daripada kalender Julian dan mirip dengan Kalender Gregorian. Prestasi luar biasanya adalah ketika membuat perhitungan tentang tahun, yakni 365,24219858156 hari.
Perhitungannya sungguh akurat hingga tempat desimal keenam (365, 242198). c15

Kontribusi Besar Ilmuwan Muslim
Di masa keemasannya pada abad 8-13 M, wilayah kekhalifahan Islam membentang luas dari Asia hingga Spanyol. Robin Westgate dalam artikel berjudul “Ancient Arab Astronomy“ menuliskan, ulama dan ilmuwan Arab pada masa itu mengetahui lebih banyak sains dan ilmu-ilmu sastra daripada tokoh-tokoh kontemporer manapun. Mereka juga banyak menerjemahkan karya-karya sastra dan ilmiah klasik (Yunani-Romawi).

Kekhalifahan Islam yang pernah menikmati puncak kejayaan di bidang sains dan teknologi itu adalah Khilafah Abbasiyah (750­1258 M). Dan, khalifah pertama yang memberikan perhatian besar terhadap astronomi adalah Khalifah Abu Ja'far Abdullah ibn Muhammad al-Mansur (khalifah kedua Abbasiyah, wafat 775 M). Ia mengalokasikan dana yang sangat besar untuk proyek penerjemahan karyakarya astronomi dari periode klasik (Yunani-Romawi).
 
Al-Razi (abad 9), Ibnu Sina (abad 10), dan Ibnu Rushd/Averroes (11261198) adalah sedikit di antara filsuf Muslim yang paling dikenal kala itu.

Upaya mereka dalam mendalami gagasan dan pemikiran tokoh-tokoh klasik Yunani, seperti Plato dan Aristoteles, dinilai sebagai upaya merekonsiliasi gagasan-gagasan Yunani klasik dengan ajaran Islam.
Hasilnya, banyak universitas didirikan di kota-kota terkemuka Islam, seperti Baghdad, Damaskus, Yerusalem, Alexandria, Kairo, dan Cordoba.

Bisnis buku berkembang pesat mengingat perpustakaan-perpustakaan besar dapat ditemukan di universitasuniversitas, istana, dan rumah-rumah orang kaya pada masa itu.

Pada masa itu, ilmuwan Eropa menyadari keunggulan ilmiah dan teknologi dunia Islam yang luar biasa sehingga mereka berupaya mencari terjemahan karya ilmuwan Muslim.

Pada 1250 M, sebagian besar materi berharga di perpustakaan-perpustakaan Islam telah tersedia bagi para ilmuwan Eropa dalam bentuk terjemahan.

Selanjutnya, para ilmuwan Muslim membuat kontribusi yang signifikan terhadap perkembangan banyak ilmu modern, seperti fisika, kimia, kedokteran, matematika, dan juga astronomi. Dan, mereka sa ngat tertarik pada bidang ilmu yang terakhir disebut itu.

Menggunakan karya astronom Yunani abad kedua Ptolemy (Ptolemaeus) sebagai dasar, para pemikir Muslim meningkatkan pengetahuan manusia tentang astronomi.

Bahkan konon, selama abad pertengahan, ketika ilmu pengetahuan Eropa mengalami kemerosotan, orang Arablah yang menjaga dan melestarikan warisan para astronom klasik tersebut.

Atas perhatian mereka yang tinggi terhadap astronomi, mereka membangun banyak observatorium dan meningkatkan instrumen ukur tertentu seperti astrolabe untuk menentukan dan merekam posisi serta gerakan benda langit. Salah satunya adalah Rumah Ilmu Pengetahuan yang dibangun di Baghdad oleh Khalifah Abbasiyah Ma'mun arRasyid antara 813-833 M.

Di sanalah para ilmuwan Islam menerjemahkan banyak teks berbahasa Sansekerta, Pahlavi atau Persia kuno, Yunani, dan Syriac ke dalam bahasa Arab. Termasuk di antaranya tabel astronomi besar berbahasa Sansekerta dan risalah astronomi Ptolemy, Almagest.

Al-Khawarizmi adalah salah satu contoh ilmuwan penting pada masa ini. Risalah matematikanya adalah yang pertama memperkenalkan konsep “nol“ penyederhana perkalian dan pembagian. Ia juga menyumbang sebuah perhitungan sistematis dari aljabar dan geometri untuk memecahkan masalah astronomi dan navigasi praktis. Di antara peninggalan penting para ilmuwan Muslim adalah namanama Arab untuk sejumlah istilah astronomi yang digunakan hingga kini. Di antaranya adalah Algedi (berasal dari kata Arab al-jadiy), Famul Hout (fammu al-huut), Sada Saoud (sa'du as-su'ud), Sheratan (assarthan), dan Acrab (al-'aqrab). Itu menunjukkan kontribusi luar biasa ilmuwan Muslim terhadap ilmu ini.

Menjadi Rujukan Para Astronom
Tabel akurat tentang bintang-bintang ditemukan pertama kali oleh astronom Muslim.
Ragheb Elsergany (2010) dalam “The Most Famous Muslim Astronomers“ (dipublikasikan melalui situs en.islamstory.com) memaparkan 10 astronom Muslim hebat. Di antaranya adalah Al-Faraghani, astronom yang bukunya menjadi referensi ilmuwan Eropa dan Asia Barat selama bertahun-tahun.

Selain Al-Faraghani, sederet nama lainnya adalah Al-Battani, Abd al-Rahman al-Sufi (903-986), Abul Wafaa al-Bozgani, Abu Ishak al-Nakkash al-Zirikli, Abul Yosr Bahaa al-Din al Kharki, Al-Badie' al-Astralbi (534-1139), Ibn al-Shater (777-1375), Olgh Bek, dan AlRudani Shams El-Din al Fasi ((10941683).

Al-Battani Ia adalah penulis buku terkenal Al-Sabi Ephemeris (Tabel Matematika, yang dikenal sebagai “Al-Zig Al Sabi“) yang sangat dipengaruhi astronomi. Ia merupakan salah satu ilmuwan yang menetapkan secara pasti posisi banyak bintang serta mengoreksi beberapa gerakan bulan dan planet-planet bergerak.

Ia tidak setuju dengan Ptolemy tentang solar aphelion. Selain itu, ia mengoreksi dirinya sendiri tentang panjang tahun matahari (jumlah hari dalam setahun berdasarkan perhitungan revolusi bumi terhadap matahari).
Bukunya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada abad ke-12, diterbitkan ulang di Eropa dan dianggap sebagai ensiklopedia astronomi. Ia juga menulis dua buku astronomi lainnya, yakni Ma'rafat Mathali' An-Nujuum dan Ta'diil al-Kawaakib.

Abd al-Rahman al-Sufi Abd al-Rahman al-Sufi (903-986) dianggap sebagai astronom pertama yang menetapkan tabel akurat tentang bintang-bintang. Ia menelurkan sebuah buku berjudul Al-Kawakib ats-Tsabitah (versi Inggris: The Constellation of Fixed Stars). Di buku itu, ia memaparkan tentang bintang-bintang tetap pada 299 H (911 M).

Tabel tersebut menjadi referensi signifikan hingga saat ini bagi mereka yang ingin memeriksa sejarah beberapa planet, posisi, dan gerakan mereka. Di dalamnya, ia menggambarkan 1.000 bintang. Atas signifikansi yang dibangunnya secara ilmiah, beberapa titik pusat bulan dan juga bintang dinamai dengan namanya.

Martyn Shuttleworth (2010) dalam artikel berjudul “Islamic Astronomy: Precision and Observation, Refining the Works of Ptolemy“ menyebut al-Sufi sebagai astronom dan matematikawan Persia yang berkontribusi besar pada karya-karya dari dunia Islam. Buku The Constellation of Fixed Stars yang ditulisnya mengoreksi kesalahan yang dibuat Ptolemy, terutama dalam mendokumentasikan urutan besarnya bintang.
Pada

964 M, astronom ini menggambarkan sebuah objek di langit yang disebutnya the little cloud atau awan kecil. Objek itu kini dikenal sebagai Galaksi Andromeda.

Di belahan bumi sebelah selatan, ia mencatat keberadaan dua objek menyerupai awan lainnya yang dinamainya al-Bakr. Objek ini pada kemudian hari ditemukan blika kembali oleh Ferdinand Magellan (1480-1521) dalam sebuah epik perjalanan dunianya pada abad ke-16. Awan itu kini dikenal sebagai pendamping Galaksi Bima Sakti (di mana bumi dan sistem tata surya berada).

Abul Wafaa al-Bozgani Ia menemukan salah satu persamaan untuk mengukur waktu posisi bulan yang dikenal sebagai “persamaan kecepatan“ (the speed equation). Salah satu kontribusinya untuk astronomi adalah penemuan gangguan dalam gerakan bulan.

Penemuan itu membawa pengembangan besar dalam astronomi dan mekanika. Para sejarawan pernah mempertanyakan apakah Tycho Brahe (astronom Denmark) ataukah al-Bozgani yang menemukan gangguan bulan ini.

Baru-baru ini, berdasarkan pengamatan yang akurat diketahui, gangguan bulan ditemukan oleh al-Bozgani.
Abu Ishak al-Nakkash al-Zirikli Adalah salah satu astronom terkenal dan matematikawan hebat.
Ia menetapkan apa yang disebut tabel astronomi Tulaytulah (Toledo), diambil dari nama Tulaytulah di Andalusia. Al-Zirikli mendasarkan tabel ini pada pengetahuan ilmuwan sebelumnya, termasuk Ptolemy dan al-Kawarizmi.

Dalam tabel tersebut, ia mencatat hasil pengamatan astronominya.
Kemudian, ia menulis buku berjudul The Matematical Tabular Sheet (Lembar Tabel Matematika). Di situ, ia menjelaskan penggunaan baru dari astrolabe. Al-Zirikli juga menemukan sebuah perangkat seperti astrolabe yang disebut lembaran AlZarkalah.

Ia menjadi orang pertama yang memperkenalkan bukti bahwa kecenderungan aphelion surya sebanding dengan bintang-bintang tetap adalah 12,05 menit. Temuan itu hampir akurat, mengingat angka teraktual adalah 12,08 menit, hanya terpaut 0,03 menit dari perhitungan al-Zirikli pada abad ke-11.

Ibnu al-Shater Tesis dan perangkat astronomi Ibnu al-Shater (777 AH-1375 M) digunakan selama beberapa abad di Timur dan Barat. Diantara kontribusinya di bidang astronomi adalah sejumlah karya tulis berjudul: The Ibn Al-Shater Ephemeris (Zig Ibnu Al Shater), Idah Al-Mahib fi Al Aml bil Rob'a Al Mugib, A Thesis on Astrolabe, A Brief Guide to the Usage of Astrolabe, Al Naf ` Al-am fi Al Amal bi Al Rob' Al-tam, Nozhat Al-Sami' fi Al Amal bil Rob' Al Gami`, Kifayat Al Kuno' fi Al-Amal bil Rob'a al-Maqtu', dan The New Ephemeris (judul-judul berbahasa Inggris adalah versi ter jemahan dari judul asli berbahasa Arab).

The New Ephemeris ditulis atas perintah dari Khal ifah Utsmani, Murad Pertama. Di dalamnya, ia memperkenalkan model, teori, dan pengukuran as tronomi yang belum pernah ada se belumnya. Tetapi, karya-karyanya itu kemudian dianggap berasal dari . Copernicus, astronom asal Polandia.
t Ahli kimia Universitas Oxford, , David King, pada 1970 menyatakan i bahwa banyak teori yang dikaitkan dengan Copernicus sebagian besar adalah gagasan Ibnu al-Shater.

Salah satu buktinya, pada 1393 H (1973 M) sejumlah manuskrip Arab ditemukan di Polandia dan diteliti . oleh Copernicus. Olgh Bek memberikan perhatian kepada para sarjana dan membangun observatorium terbesar pada waktu itu. Menurut salah satu autobiografer Muslim, Olgh Bek adalah seorang sarjana adil dan terampil yang berpengalaman dalam astronomi dan juga seorang ahli pidato. Pada sepanjang eranya, sarjana dan ilmuwan mendapatkan posisi yang tinggi.

Dalam bidang teknik, ia menginterpretasikan jumlah yang paling akurat. Di bidang kosmografi, ia menjelaskan buku Ptolemy. Bekerja sama dengan para ulama yang disebutkan sebelumnya, ia mencatat pengamatannya tentang bintang. Ia juga mendirikan sebuah fakultas tiada tara di Samarkand.

Bekerja sama dengan tim obseri vasi, Olgh Bek berhasil menemukan perangkat baru astronomi. Lalu, i pada 727-839 H (1327-1435 M), ia i terus mengamati bintang-bintang.

Pengamatan itu membuatnya ber hasil memperkenalkan ephemeris s komprehensif (zig) yang disebut , Ephemeris Olgh Bek atau Ephemeris Sultani, di mana ia secara akurat menggambarkan posisi bintang, gerhana bulan, dan gerhana matahari. Ia juga mengatur tabel matematika numerik untuk bintang tetap, gerakan matahari, bulan, planet, serta garis lintang dan bujur kota-kota ' penting Islam.

Al-Syams Rudani El-Din al Fasi. Ia dianggap sebagai salah satu ilmuwan Muslim yang memanfaatkan kesimpulan-kesimpulan serta capaian-capaian para ilmuwan Muslim terdahulu di bidang astronomi. Ia menciptakan sebuah perangkat bulat untuk memberi tahu waktu. Ia juga menulis sebuah buku tentang bagaimana ia memproduksi perangkat tersebut, juga cara menggunakannya.

DR THOMAS DJAMALUDDIN Jangan Ada Dikotomi Antara Sains dan Islam
Perkembangan astronomi dari masa ke masa adalah hasil upaya manusia dalam memahami lingkungan semestanya. Karena itu, ia tak seharusnya dipisahkan dari agama. “Sains harus jadi bagian dari kehidupan, sejalan dengan Alquran,“ ujar pakar astronomi Indonesia, Dr Thomas Djamaluddin, dalam perbincangan dengan wartawan Republika, Devi A Oktavika.

Karena itu, menurut profesor riset astronomi-astrofisika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) ini, seharusnya tak ada klaim tentang kecocokan ilmu pengetahuan tertentu dengan ajaran agama. “Temuan-temuan sains adalah penjelasan bagi ayat-ayat Alquran, bukan pencocokan,“ tegasnya. Berikut petikan lengkap perbincangan dengan astronom yang juga anggota Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama ini.

Dapatkah Anda menjelaskan teori modern tentang penciptaan semesta dan kesesuaiannya dengan Alquran? Jadi, sebagaimana disebutkan dalam Alquran surah al-Anbiyaa' ayat 30, langit dan bumi berasal dari satu kesatuan. Ayat tersebut didukung oleh ayat 47 surah adzDzaariyaat yang berbunyi, “Dan, langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya.“

Ayat kedua tersebut memperkuat ayat surah al-Anbiyaa' dengan menjelaskan bahwa langit mengalami perluasan yang berarti perkembangan. Ada proses di sana. Para mufasir pada zaman dahulu mungkin belum sampai pada penafsiran tersebut karena belum ada bukti-bukti ilmiah yang membawa pemikiran manusia pada penafsiran tersebut.

Nah, itu yang kemudian dijelaskan oleh Teori Big Bang (Ledakan Dahsyat). Jadi, cara memahaminya bukan dengan mengatakan bahwa ayat Alquran tertentu cocok dengan Teori Big Bang. Bukan itu. Melainkan, bahwa ayat-ayat tersebut dijelaskan oleh Teori Big Bang menurut perkembangan ilmu pengetahuan saat ini. Karena, bisa saja kelak muncul teori baru yang menjelaskan ayat tersebut.

Jadi, menurut teori tersebut, langit dan bumi dulunya merupakan satu kesatuan yang kemudian dikembangkan oleh Allah. Dari proses evolusi bintang, terbentuklah matahari beserta tata planetnya, termasuk bumi kita. Jadi, bumi kita dulunya berasal dari satu materi dengan matahari dan bintang-bintang lain.

Peristiwa ledakan terjadi pada masa yang disebut t=0 dan menjadi awal mula perhitungan waktu. Materi awal yang terbentuk adalah hidrogen yang dalam proses evolusi bintang mengalami fungsi atau reaksi nuklir yang menghasilkan helium dan selanjutnya membentuk pula unsur-unsur lain yang kini ada di alam semesta.

Dalam Teori Big Bang disebutkan bahwa proses terbentuknya semesta terdiri atas enam tahap. Dapatkah Anda jelaskan tahaptahap tersebut?
Tahapan yang enam itu tidak hanya disebutkan dalam Teori Big Bang, tetapi juga dalam sejumlah ayat Alquran tentang penciptaan semesta yang mengandung kata fii sittati ayyaam (dalam enam hari).

Namun, untuk memperdetail tahapan dalam enam hari itu, ayat 27-32 surah an-Nazi'at adalah dalil yang paling menjelaskan.

Pertama, ayat 27 yang berbunyi, “Apakah kamu yang lebih sulit penciptaannya ataukah langit? Allah telah membangunnya,“ menunjukkan penciptaan langit sebagai tahap pertama pembangunan se mesta yang menurut perkembangan sains hari ini diyakini sebagai peristiwa Big Bang tersebut. Sedangkan, ayat selanjutnya, “Dia meninggikan bangunannya lalu menyempurnakannya,“ menunjukkan ekspansi yang dilakukan Allah. Jika dikaitkan dengan Teori Big Bang, tahap ini adalah tahap evolusi bintang.

Setelah itu, pada ayat 29, Allah berfirman, “Dan Dia menjadikan malamnya gelap gulita dan menjadikan siangnya terang benderang,“ menunjukkan proses terbentuknya matahari dan juga tata planet karena telah ada siang dan malam. Sementara, ayat 30, “Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya,“ mengindikasikan proses evolusi yang terjadi di bumi, seperti pergeseran lempeng bumi.

Proses evolusi tersebut kemudian melahirkan benua-benua, hingga kemudian terjadi tahap selanjutnya, yakni evolusi kehidupan di bumi.

Allah mulai memancarkan air dan menciptakan makhluk pertama di bumi berupa tumbuh-tumbuhan.
Tahap ini dijelaskan dalam ayat, “Ia memancarkan daripadanya mata airnya dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya.“

Sebagai tahap akhir, “Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh,“ menjadi simbol tahap penyempurnaan bumi oleh Allah SWT, sebelum akhirnya ia menciptakan binatang dan manusia.
Tahap-tahap yang enam ini juga dijelaskan dalam beberapa ayat dan surah lain. Salah satunya adalah Fushshilat ayat 9-11.

Berbicara tentang evolusi, dapatkah kita katakan bahwa ia juga terjadi dalam pemikiran para ilmuwan dan juga mufasir Alquran?
Ya. Pemikiran ulama berevolusi sehingga ada pergeseran dalam memaknai atau menafsirkan Alquran sesuai dengan perkembangan yang ada. Konsep tentang sab'a samawaat atau “tujuh langit“, misalnya, dulu dimaknai secara geosentris. Yakni, sesuai posisi langit atau benda langit dari bumi. Sehingga, dahulu dikatakan bahwa bulan adalah langit pertama, Planet Merkurius langit kedua, Venus ketiga, Matahari keempat, disusul Mars, Yupiter, dan Saturnus.

Sedangkan, konsep yang sekarang memaknai samawaat sebagai galaksi sehingga mengarah pada langit yang tak terbatas. Hal itu merujuk pada kata sab'a (tujuh) yang dalam banyak ayat Alquran lainnya banyak digunakan untuk merujuk atau mengibaratkan sesuatu yang tak terhingga. Nah, inilah evolusi yang terjadi dalam dunia pemikiran.

Melihat kesinkronan antara nash-nash Islam dan sains dalam persoalan penciptaan alam semesta ini, apakah berarti keduanya sejajar? Alquran dan ilmu pengetahuan adalah dua hal dengan domain berbeda. Alquran adalah satu hal yang mutlak dan tidak perlu diragukan kebenarannya. Sedangkan, ilmu pengetahuan merupakan hasil pemikiran manusia yang didasarkan atas bukti-bukti yang dapat diamati dengan kebenaran yang relatif.

Keduanya dapat dipersatukan dalam konteks tafsir. Karena itu, seperti saya katakan di muka, kita tidak boleh mengatakan bahwa temuan x sesuai dengan ayat x ataupun sebaliknya. Pengetahuan bukan untuk dicocokkan dengan Alquran, melainkan hanya untuk menjelaskan.

Bagaimana dengan kiprah ilmuwan Muslim sendiri di antara ilmuwan-ilmuwan dunia lainnya?
Saya kira, dalam sejarah sains sama saja. Peran dan kontribusi Muslim bagi astronomi dibahas sesuai dengan kontribusi yang mereka berikan. Selain pemikiran mengenai konsep-konsep astronomi, kontribusi tersebut juga dilihat dari karya tulis yang mereka hasilkan.

Dengan demikian, dunia mengakui kontribusi mereka sebagaimana mengakui kontribusi ilmuwan Barat atau non-Muslim.

Ada banyak tokoh Muslim yang menonjol dalam dunia astronomi, seperti al-Battani, yang menjelaskan tentang kemiringan poros bumi, musim di bumi, gerhana matahari, penampakan hilal, dan juga tentang tahun matahari yang terdiri atas 365 hari.

Selain itu, ada pula al-Faraghani yang menjelaskan tentang dasardasar astronomi, termasuk gerakan benda langit dan diameter bumi serta planet-planet lainnya. Juga Ibnu Hayyan yang dikenal sebagai Bapak Kimia menjelaskan tentang warna matahari, konsep bayangan, serta pelangi. Dan, banyak lagi astronom Muslim yang mewarnai sejarah astronomi.

Mengetahui betapa hebatnya muatan sains dalam Alquran, apa harapan Anda bagi umat Islam terkait itu?
Ada dua hal utama yang perlu dilakukan dan diperbaiki. Pertama, umat Islam harus menghilangkan dikotomi sains dan Islam. Selama ini, sains kerap dianggap produk Barat sehingga ada pemilahan mana sains Barat dan mana pengetahuan Islam. Padahal, seharusnya tidak demikian.

Sains bisa dibuktikan dengan mengikuti kaidah-kaidah ilmiah, bukan dengan klaim bahwa ini sains milik Muslim dan ini milik nonMuslim. Sains dapat dikaji ulang oleh siapa pun tanpa memandang bangsa ataupun agama. Ia harus jadi bagian dari kehidupan sehari-hari dan juga sejalan dengan Alquran.

Maka, tugas ilmuwan adalah untuk terus mengembangkan ilmu pengetahuan bagi maslahat manusia dan juga alam semesta.

Kedua, setelah menghapuskan dikotomi tersebut, senada dengan pesan Rasulullah SAW, saya berharap umat Islam terus belajar, termasuk mendalami ilmu pengetahuan. Mengapa? Karena, sains adalah bagian dari cara kita memahami alam semesta. Sains adalah kontribusi manusia sepanjang masa.
c15 ed: wachidah handasah

0 komentar:

Posting Komentar